Jumat, 02 September 2011

Komitmen


Sebagian dari kita mungkin ada yang mencintai seseorang karena keadaan sesaat. Karena dia baik, karena dia pintar, even mungkin karena dia kaya. Tidak pernah terpikir apa jadinya, kalau dia mendadak jahat, mendadak tidak sepintar dahulu, atau mendadak miskin.
Will you still love them, then?
That’s why you need commitment.
Don’t love someone because of what/how/who they are.
From now on, start loving someone, because you want to.
(Ninit Yunita – Test Pack)

Setelah membaca buku Teh Ninit ini aku lalu berpikir tentang cinta dan komitmen. Tentang mana yang lebih penting. Tentu kita berkomitmen setelah kita lebih dulu mengalami jatuh cinta, mencinta, dicinta, atau apapun itu terkait dengan cinta. Tapi, pada akhirnya mana yang akan bertahan?

Dalam pernikahan, apakah semua pasangan masih ‘in love’ ketikan mereka menjalaninya. Aku yakin tak sedikit yang sekadar terjebak pada komitmen. Lalu, mana yang lebih penting? FYI, I hate being trapped! Itulah kenapa, kadang-kadang, memikirkan pernikahan membuatku cemas.

Tapi, obrolanku dengan seorang teman sore kemarin di sebuah coffee shop memberiku beberapa jawaban. “First, all you need is love, Dam. Itulah yang bikin lo mau berkomitmen sama orang yang lo sayang dan lalu menikah,” she said.  Tapi kan cinta bisa luntur dan romantisme bisa basi?

 Saat menikah, kita meleburkan egoisme individu dan berkomitmen (pada akhirnya) untuk menjadi satu. Yang kita pikirkan bukan lagi (sekadar) hal-hal seperti; kado apa untuk ulang tahun suamiku, mau nonton apa weekend ini, mau minta jemput istri jam berapa, dan beberapa romantisme lainnya. “Menikah lebih kompleks dari itu, Dam. Pikiran lo bakal disibukkan dengan anak gw musti sehat gimana caranya, apa kabar sama cicilan mobil, tagihan listrik air gimana, dan hal-hal semacamnya.”

Sampai disini, aku mulai berpikir tentang transformasi cinta. Cinta ternyata bisa diejawantahkan ke dalam rumusan-rumusan yang kompleks dengan berbagai variabel. Komitmen adalah salah satu wujud dari cinta, pada akhirnya. Itulah kenapa setiap pasangan yang saling cinta akan berikrar untuk mengikat diri pada saatnya mereka siap melalui pernikahan. Mereka rela berkomitmen, rela melebur, rela saling terikat, rela terjebak? *upss!!*

Bahwa menjadi suami istri adalah komitmen karena cinta. Menjadi ibu yang baik dan ayah yang bertanggung jawab adalah komitmen karena cinta. Nonton bertiga bersama anak adalah romantisme baru. Menjemput anak setelah memasak bagi suami itulah romantisme yang bertransformasi. Bahwa semata-mata ingin mencintai dengan wujud seperti itu, itulah cinta. Kita tak akan khawatir lagi mengenai cinta yang luntur karena sesungguhnya cinta tak akan pernah hilang, dia hanya akan berubah wujud. Romantisme hanya butuh kita modifikasi.

Komitmen untuk memberikan cinta itulah yang membuat cinta tetap ada. Dan waktu akan selalu punya cara untuk membuat kita kreatif mengejawantahkannya, yang mungkin tak akan kita kira dan hanya perlu kita jalani pada saatnya.




Tapi tunggu!
Oh Tuhan, saya masih tetap cemas memikirkan pernikahan. Damn it!

Tidak ada komentar: